Teruslah hidup.

Satu dua napas menderu
Berburu bersama waktu

Dua empat langkah kaki seakan berlari
Mengejar dentang jarum yang tak kunjung berhenti

Debu dan pilu menguap bersama rindu
Mengalahkan ilusi untuk bergelung bersamamu

Simpul otak kusut
Tubuh lelah bermandikan peluh

Teriak suara manusia membahana
Putih rapuh melayang di udara bersama raut wajah takutnya
Kedua tangan itu bertaut bersama rasa indah yang membuncah
Dawai napas yang bahagia bersama dengan semangkuk soto dan nasi hangat

Lalu kembali lagi
Bercengkrama dalam kotak sempit
Itu lagi, itu lagi

Batin seakan terguncang
Namun asa, belum lagi duduk diam
Masih ada sepuluh jari yang harus mengayun
Hingga dentang itu berbunyi kembali

Bersama senja
Menutup lembar biru
Membuka kelabu

Kembali napas itu menderu
Bersahut, mengharu biru

Langkah itu tergesa lagi,
Bukan untuk kembali membuka kehadiran
Namun untuk membuktikan kepulangan

Ada penantian
Ada harapan
Ada seutas senyum yang menawan

Dari balik tingginya cahaya kota
Tersingkap sejuta cerita

Menanti besi kotak itu muncul lagi
Menanti dewa penyelamat di balik penyingkap hijau itu datang lagi
Hingga mengharap dia yang sudah pergi untuk menjemput lagi

Kaki itu melangkah kecil
Saling bersahutan dengan besi-besi berbau cat baru
Yang jalannya sudah tak lebar lagi
Yang menanti kapan tiba untuk memeluk yang terkasih

Asa itu selalu ada
Di balik langkah terburu dan dengusan kesal pengadu
Di balik ketidaksabaran dan emosi sesaat
Dibalik berjejalnya korek batangan dalam satu kardus panjang
Yang membawa diri ke perapian, untuk sekedar menghangatkan
Di balik telinga tersumpal
Dan cahaya putih dengan kilatan cerita keseharian

Mungkin saja kami pulang
Mungkin saja kami memeluk cinta
Namun hari esok akan selalu mendatangi
Dengan otak kusut yang baru
Dengan peluh yang mungkin berujung pilu

Dan dengan harapan untuk keluar, singgah, ataupun datang

Melebur bersamamu
Dalam asa dan pilu

Pejuang hidup, teruslah untuk hidup


Whereover in Jakarta,
duchess of paper
18.11.18

Comments

Popular posts from this blog

Derasnya Jatuh, di Ibukota

#opinimas | Kenapa Masih Banyak Kendaraan Pribadi di Jakarta?